Harga emas global mengalami penurunan tajam hingga menembus di bawah level psikologis US$ 4.000 per troy ons pada perdagangan Senin (27/10/2025). Pelemahan ini dipicu oleh meredanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang menekan permintaan terhadap emas sebagai aset safe haven.
Harga emas anjlok 3,17% dan berakhir di level US$ 3.981,03 per troy ons, setelah sempat menyentuh titik terendah intraday di US$ 3.971,41 — posisi terlemah sejak 10 Oktober 2025.
“Adanya potensi tercapainya kesepakatan dagang antara AS dan China mengurangi minat terhadap aset lindung nilai seperti emas,” ujar David Meger, Direktur Perdagangan Logam di High Ridge Futures, dikutip dari Reuters.
Sebelumnya, pada 20 Oktober 2025, harga emas sempat mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) di level US$ 4.381,18 per ons. Namun, dalam sepekan terakhir, harga emas terkoreksi sekitar 3,2% seiring meningkatnya optimisme terhadap hubungan dagang yang mulai mencair antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.
Laporan terbaru menyebutkan bahwa negosiator dari AS dan China telah menyepakati kerangka awal perjanjian yang mencakup penundaan kenaikan tarif AS dan pembatalan rencana pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) dari China.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan bertemu pada Kamis (30/10/2025) untuk melanjutkan pembahasan mengenai kesepakatan tersebut.
Menurut Jeffrey Christian, Managing Partner CPM Group, tekanan jual teknikal serta mencairnya ketegangan dagang menjadi faktor utama yang mempercepat penurunan harga emas. “Sebelumnya, harga emas melonjak dari US$ 3.800 ke US$ 4.400 hanya dalam tiga minggu pertama Oktober. Kini, pasar sedang terkoreksi akibat pembalikan sentimen tersebut,” jelasnya.
Di sisi lain, investor tengah menantikan keputusan suku bunga dari Federal Reserve (The Fed) yang akan diumumkan pada Rabu (29/10/2025) waktu AS. Berdasarkan hasil survei, sekitar 97% pelaku pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin.
Sebagai aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset), emas biasanya mendapat dukungan di tengah kebijakan suku bunga rendah. Namun, meskipun sejumlah analis masih meyakini potensi kenaikan emas hingga menembus level US$ 5.000 per ons, sebagian lainnya mulai meragukan keberlanjutan reli besar logam mulia tersebut.
Analis dari Capital Economics bahkan menurunkan proyeksi harga emas mereka menjadi US$ 3.500 per ons pada akhir 2026. “Kenaikan harga sebesar 25% sejak Agustus dinilai terlalu tinggi dibandingkan dengan lonjakan yang terjadi pada fase bullish sebelumnya,” tulis lembaga tersebut dalam laporan terbarunya.
Sumber: Investor.id
Bagikan Berita Ini